TEL AVIV – Donald Trump memenangkan pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 dan terpilih sebagai presiden.
Selama menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 pada tahun 2017 hingga 2021, ia menjalankan kebijakan luar negeri yang merugikan Palestina, termasuk secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Palestina sering menjadi topik diskusi dalam politik internasional, termasuk kampanye pemilu AS pada tahun 2024, namun Presiden Trump telah menegaskan bahwa dia tidak membela Palestina.
Beberapa alasan utama pendiriannya dapat ditemukan dalam kebijakan luar negeri Trump, afiliasi politik, dan hubungan dekat dengan Israel.
5 Alasan Mengapa Donald Trump Tidak Akan Pernah Membela Palestina
1. Kedekatan dengan Israel dan kekuatan lobi AS yang pro-Israel
Salah satu alasan utama Donald Trump tidak membela Palestina adalah karena hubungan pemerintahannya yang sangat dekat dengan Israel.
Selama masa kepresidenannya yang pertama, Presiden Trump menunjukkan dukungan kuat terhadap Israel, dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Presiden Trump telah menjadikan hubungan dengan Israel sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri AS, dan dalam banyak hal kebijakan tersebut mencerminkan pendekatan yang lebih memihak Israel dibandingkan Palestina.
Presiden Trump telah mengambil dua langkah yang sangat bermanfaat bagi Israel.
Pertama, pada tahun 2017, Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel. Ia juga memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Tindakan ini menuai kecaman tidak hanya dari warga Palestina, yang menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka, namun juga dari dunia Arab dan negara-negara Islam.
Kedua, persiapan “kesepakatan abad ini” pada tahun 2020. Seperti dikutip New York Times, Trump telah mengembangkan rencana perdamaian yang disebut “Kesepakatan Abad Ini” yang dinilai sangat bermanfaat bagi Israel.
Rencana tersebut akan memberikan Palestina sebagian kecil wilayah yang mereka klaim, dan menegaskan kedaulatan Israel atas sebagian besar wilayah yang disengketakan, termasuk Yerusalem. Palestina menolak rencana tersebut karena tidak mencakup hak-hak dasar seperti kemerdekaan atau kendali penuh atas Yerusalem Timur.
Lobi pro-Israel yang kuat di AS juga memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan Presiden Trump terhadap Israel.
Kelompok-kelompok seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) dan politisi pro-Israel di Washington memiliki pengaruh yang besar terhadap politik Amerika, dan Presiden Trump tidak ragu untuk bekerja sama dengan mereka dalam membentuk kebijakan luar negeri.
2. Amerika yang pertama dan isolasionisme
Presiden Trump menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih isolasionis dengan mengutamakan kepentingan Amerika, yang dikenal dengan slogan “America First”.
Dalam hal ini, Presiden Trump lebih memilih untuk mendukung sekutu utama Amerika Serikat, seperti Israel, yang dianggap memiliki kepentingan yang sejalan dengan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Presiden Trump tidak menunjukkan minat yang signifikan untuk mengeksplorasi masalah Palestina atau melakukan intervensi dalam upaya perdamaian yang lebih luas.
Pendekatan “America First” berarti Presiden Trump akan menghindari konflik internasional yang tidak dianggap menguntungkan Amerika Serikat secara langsung.
Dalam hal ini, meski konflik Israel-Palestina merupakan isu internasional yang penting, Presiden Trump lebih memilih stabilitas politik dalam negeri dan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang dianggap penting secara strategis bagi Amerika Serikat, termasuk Israel.
3. Posisi Partai Republik dan kaum konservatif evangelis
Trump juga didukung oleh basis konservatifnya, yang mencakup umat Kristen evangelis Amerika yang sangat mendukung Israel.
Banyak kelompok evangelis percaya bahwa mendukung Israel adalah bagian dari keyakinan agama mereka, sehingga mengarah pada pandangan bahwa Israel harus mendapat dukungan penuh.
Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Trump seringkali sejalan dengan keyakinan agama dan politik tersebut, sehingga membuat dukungan terbuka terhadap Palestina semakin sulit.
Partai Republik yang dipimpin Presiden Trump secara historis mendukung Israel. Hal ini membuat posisi Trump lebih sejalan dengan kebijakan luar negeri partainya yang cenderung pro-Israel.
Kebijakan ini juga membantu Trump memperkuat basis dukungannya di kalangan pemilih Kristen konservatif yang mementingkan hubungan teologis dengan Israel.
4.2 Mengabaikan Keputusan Pemerintah
Dengan rencananya tersebut, Presiden Trump akan secara efektif meninggalkan solusi dua negara, yang telah menjadi kerangka dasar penyelesaian konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade.
Idenya adalah bahwa perdamaian abadi hanya dapat dicapai dengan mendirikan negara Palestina merdeka bersama Israel.
Sebaliknya, Trump menginginkan solusi yang sangat menguntungkan Israel dan berfokus pada penguatan Israel dan pengurangan hak-hak Palestina.
Tindakan-tindakan seperti pengakuan Israel atas aneksasi Tepi Barat dan pemotongan bantuan AS kepada Palestina semakin memperburuk hubungan antara pemerintahan Trump dan Palestina.
5. Konsekuensi ekonomi dan strategis
Israel juga memainkan peran penting dalam strategi ekonomi dan militer AS di Timur Tengah.
Dengan memihak Israel, Trump mendukung kepentingan AS dalam aliansi militer, perdagangan, dan pengaruh di kawasan yang tegang.
Israel dan Amerika Serikat mempunyai hubungan ekonomi yang erat, dengan perdagangan senjata dan teknologi yang saling menguntungkan.
Oleh karena itu, bagi Presiden Trump, mempertahankan dukungan terhadap Israel adalah bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas dan tidak mencakup upaya membela Palestina.