JAKARTA – Krisis sumber daya manusia (SDM) yang terjadi di Indonesia harus segera diatasi. Ini adalah krisis di mana pendidikan justru menjauhkan orang dari potensi dan bakat terpendam mereka.
“Krisis ini berpotensi menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan diri sosial dan (spiritual) mereka,” kata Muhammad Noor Rizal, penggiat Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di dua forum nasional, termasuk KTT D’Futuro 2024 oleh Dewan. Yayasan Pijar pada Rabu (6/11/2024) di Kota Casablanca, serta dalam pembicaraan Seruni di panggung (Saracehan untuk Negeri) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pada Rabu (13/11/2024).
Dua peristiwa besar ini menunjukkan bahwa isu peningkatan pendidikan Indonesia masih menjadi prioritas dan ramai diperbincangkan. Menurut Rizal, perlu adanya cerita-cerita yang bisa menginspirasi perubahan.
Rizal mengatakan belum berkembangnya kualitas pendidikan di Indonesia karena masyarakat dan pemerintah tidak bisa lepas dari pemikiran lama. “Program-program baru masih diperlakukan dengan cara berpikir dan berperilaku lama sehingga menimbulkan birokrasi, administrasi, dan jargon baru,” imbuhnya.
Akibatnya, meski kurikulum sudah dua belas kali berganti, akreditasi sekolah sudah mencapai lebih dari 90%, dan anggaran pendidikan sudah mencapai Rp 600 triliun, namun kualitas pendidikan Indonesia masih stagnan. Menurut survei Programme for International Student Assessment, nilai membaca, matematika, dan sains masih berada di peringkat ketujuh terendah.
Faktanya, Global Talent Competitiveness Index 2022 kami berada di peringkat ke-82. “GSM hadir untuk melakukan revolusi di bidang pendidikan melalui pendekatan massal. Oleh karena itu, para guru diajak untuk memperhatikan dan menunggu program dari atas,” ujarnya.
Mereka ditantang untuk menjadi guru yang unggul dan adaptif dengan menemukan cara berpikir baru tentang tujuan pendidikan. Pendidikan tidak boleh digunakan hanya untuk keuntungan finansial atau pekerjaan di masa depan.
Pendidikan juga harus memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Yakni bagaimana masyarakat dapat memahami dunia di sekelilingnya dan dunia di dalam dirinya sehingga dapat tercukupi secara finansial, intelektual, emosional, dan sosial serta berperan aktif sebagai warga negara.
“Ilmu yang diperoleh mahasiswa harus bersifat konstruktif, yaitu hasil pengalaman dan interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, bukan dari ceramah atau kajian tertulis. Lingkungan belajar seperti ini membebaskan mahasiswa untuk menghasilkan ide-ide baru. “, jelasnya.
Sementara itu, dalam Seruni 10: Seruni Percakapan di Panggung Bersama Muhadjir Effendi, Rizal membahas esensi pemberantasan ketimpangan akses dan perubahan program pendidikan. Menurutnya, ketimpangan akses merupakan dampak dari paradigma pendidikan human capital yang hanya mempersiapkan peserta didik menjadi pekerja. Oleh karena itu, masyarakat dipandang sebagai objek pendidikan. Bukan subjek atau aktor utama.
Akibatnya, siswa di semua jenjang pendidikan, termasuk siswa sekolah menengah atas, seringkali tidak menikmati proses pembelajaran. Pelatihan inilah yang menjauhkan mereka dari bakat, kemampuan dan passion mereka. “Dan jika hal ini terus berlanjut di dunia kerja, mereka tidak produktif dan tidak menyukai pekerjaannya,” ujarnya.