Romli Atmasasmita

DUA persoalan hukum dalam penafsiran ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pertama, persoalan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Kedua, penafsiran unsur perbuatan melawan hukum (EMP). Ketiga, penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara. Keempat, masalah pembuktian ada/tidaknya PMH dan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi.

Kerugian keuangan negara tercantum dalam dua pasal, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor); Tak disangka, hal tersebut mengalami perkembangan penafsiran yang pesat baik oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI).

Perkembangan penafsiran hukum yang pertama datang dari ICRI, yaitu pada putusan ICRI nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menghilangkan frasa “boleh” dari rangkaian kalimat yang menimbulkan kerugian keuangan masyarakat pada Pasal 2 dan Pasal 3 karena dinilai tidak mempunyai kepastian hukum dan bertentangan dengan kepastian yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bahwa ungkapan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara harus dibuktikan dengan kerugian negara yang sebenarnya – kerugian aktual – bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara – potensi kerugian.

Keputusan MKRI aquo juga menetapkan bahwa selain BPK, lembaga pemeriksa independen lainnya seperti BPKP dan pemeriksa swasta independen dapat menghitung kerugian keuangan negara.

Pengertian kerugian keuangan negara tercantum dalam ketentuan pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai berikut: Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang bersifat nyata dan pasti. jumlah akibat perbuatan salah baik disengaja maupun lalai.

Namun penafsiran terhadap pengertian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai unsur tindak pidana korupsi, karena kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan akibat dari suatu unsur perbuatan. perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, atau perbuatan pejabat/pengurus pemerintah yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atau kesempatan yang ada pada dirinya berdasarkan jabatannya atau kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau memberi manfaat kepada orang lain. atau korporasi.

Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa hukum pidana yang umum dikenal adalah hukum pidana atas perbuatan (daadstrafrecht); bukan hukum pidana karena akibat perbuatan salah atau penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan informasi terkini tersebut, dapat disimpulkan bahwa adalah sebuah kekeliruan, atau setidak-tidaknya kesalahan yang nyata, sebagian besar pakar dan praktisi hukum, termasuk hakim, dalam mengartikan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian masyarakat, termasuk unsur kerugian negara. tindak pidana/tindak pidana korupsi.

Penafsiran hukum tersebut benar sepanjang dapat dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi itu lengkap (voltoid) apabila dapat dibuktikan secara jelas dan pasti adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012, Mahkamah Agung RI memberikan penjelasan dan menemukan bahwa meskipun BPKP atau lembaga pemeriksa swasta independen dapat menghitung kerugian keuangan negara, namun hasil perhitungan tersebut harus dipublikasikan oleh BPKP.

Hal ini berarti tidak ada pernyataan BKPK mengenai temuan BKPK atau lembaga audit swasta independen; Oleh karena itu, hasil perhitungan kerugian keuangan swasta masih belum mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

Merujuk pada kedua putusan otoritas kehakiman tertinggi dalam negara hukum Indonesia tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa saat ini terkait dengan status hukum hasil perhitungan BPKP/badan auditor independen swasta dalam proses pembuktian penyidikan di bidang Peradilan Tipikor.

Namun dalam praktik peradilan, hasil perhitungan BPKP/badan pemeriksa independen swasta tanpa keterangan BPK mempunyai dasar hukum sebagai alat bukti yang sah dalam setiap putusan Pengadilan Tipikor, baik pada tingkat pertama maupun tingkat terakhir.

Terlepas dari permasalahan hukum mengenai rumusan/definisi kerugian keuangan negara, perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara pengertian kerugian keuangan negara dan kerugian ekonomi masyarakat.

Pengertian hukum kerugian keuangan negara mempunyai dasar hukum pembentukannya sebagaimana diuraikan di atas, dan juga didasarkan pada Undang-undang nomor 15 Tahun 2004 tentang revisi pengelolaan tanggung jawab keuangan negara; ada lembaga pemerintah yang berwenang menghitung kerugian keuangan pemerintah.

Sementara sebaliknya, hingga saat ini Undang-Undang Tipikor sudah berusia 25 tahun, belum ada landasan hukum yang menentukan kerugian ekonomi negara, maupun lembaga negara yang berwenang menghitungnya.

Perbedaan kedua, hingga saat ini, sejak disahkannya Undang-Undang Tipikor pada tahun 1999; Belum ada standar audit dan lembaga yang berwenang mengaudit kerugian ekonomi negara.

Berbeda halnya dengan kerugian keuangan negara, berdasarkan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 disebutkan bahwa penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku umum (PKN-BPK, 2023).

Namun harus diakui secara jujur ​​bahwa terdapat salah penafsiran bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara di kalangan para ahli hukum dan praktisi hukum termasuk hakim adalah bahwa kerugian keuangan negara merupakan unsur tindak pidana korupsi, namun pada kenyataannya merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi. tidak demikian.

Dalam praktik pemberantasan korupsi, hal ini menimbulkan keresahan dan keresahan di kalangan sebagian besar penyelenggara pemerintahan, termasuk sektor swasta, seperti perbankan dan pelaku usaha pada umumnya dalam melakukan transaksi bisnis antar pelaku usaha hanya karena adanya kerugian keuangan negara, bahkan perekonomian masyarakat dalam praktik usaha para pelaku usaha.

Akibat keresahan di kalangan pelaku usaha tersebut, timbul kelesuan dan semangat kerja yang perlu ditingkatkan agar berpihak kepada para pelaku usaha dan khususnya para pelaku usaha di kalangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Terakhir, akibat krisis kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap pelaku usaha nasional, termasuk BUMN, menyebabkan investasi dan produktivitas perusahaan atau BUMN menurun dan akhirnya bangkrut atau membubarkan diri.

Dengan demikian, kita melihat banyak BUMN bangkrut yang mengalami kerugian ratusan triliun rupee dan pemerintah terpaksa melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi yang membebani APBN/APBD pada tahun anggaran berikutnya.

Di sisi lain, terdapat sifat kontraproduktif dari proses penindakan pidana atas transaksi bisnis khususnya yang dilakukan oleh BUMN, dimana penyertaan modal negara dalam bentuk saham sebesar 51% tidak memberikan hasil yang terbaik dan produktif. dibandingkan dengan pembagian hukum BUMN keuangan yang jelas dan pasti terdapat batas tegas antara pengelolaan dan pertanggungjawabannya dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang dikelola oleh kementerian/lembaga negara/pemerintah.

Solusi kedua adalah evaluasi secara umum terhadap keberadaan hukum pidana yang berlaku di luar hukum pidana umum, serta reposisi organisasi KPK dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2019 terhadap 80% pegawai non-PNS/ASN dan 20% pegawai PNS/ASN.

Ketiga, menegaskan kembali perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Penyidikan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan memuat ketentuan mengenai kewajiban yang timbul dari perhitungan kerugian keuangan masyarakat yang dilakukan oleh BPKP dan lembaga pemeriksa independen; dideklarasikan oleh LLC.

Keempat, Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 memuat ketentuan bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara mencakup dampak kerusakan lingkungan hidup akibat pengelolaan pertambangan dan kehutanan; hal ini hanya dilakukan oleh ahli ekologi resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Kelima, perlu dilakukan evaluasi sistem pembuktian berdasarkan teori bukti hukum negatif yang dianut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan menggunakan sistem campuran antara bukti negatif dan bukti positif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *