JENEWA – Dunia telah gagal mengembangkan pengobatan antibakteri yang sangat dibutuhkan meskipun kesadaran akan ancaman resistensi antibiotik semakin meningkat.

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia. Organisasi Kesehatan Dunia mengungkapkan bahwa tidak satupun dari 43 antibiotik yang dikembangkan secara klinis mampu mengatasi masalah resistensi obat pada bakteri paling berbahaya di dunia tersebut.

“Kegagalan terus-menerus dalam mengembangkan, memproduksi dan mendistribusikan antibiotik baru yang efektif memperkuat dampak resistensi antimikroba (AMR) dan mengancam kemampuan pengobatan infeksi bakteri,” kata Dr. Hanan Balkhi, Wakil Direktur Jenderal, WHO AMR.

Hampir semua antibiotik baru yang dipasarkan dalam beberapa dekade terakhir merupakan varian dari kelas antibiotik yang ditemukan pada tahun 1980an.

Resistensi antimikroba (AMR) semakin mengkhawatirkan. Fenomena ini disebabkan oleh meningkatnya kemampuan bakteri, virus, jamur dan parasit dalam beradaptasi dan bertahan dari serangan obat.

Akibatnya, infeksi bakteri yang dulunya mudah diobati kini memerlukan pengobatan yang lebih kompleks, bahkan pada beberapa kasus sulit disembuhkan, termasuk kasus resistensi antibiotik.

Resistensi antibiotik mempersulit pengobatan infeksi serius seperti sepsis, infeksi saluran kemih, dan pneumonia di Indonesia. Selain itu, antibiotik yang umum digunakan seperti sefalosporin generasi ketiga dan karbapenem tidak lagi efektif melawan infeksi bakteri E. coli dan Klebsiella pneumoniae.

Resistensi antibiotik menjadi perhatian utama karena terbukti meningkatkan angka kematian, memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan mengurangi efektivitas pengobatan seperti operasi besar atau kemoterapi untuk mencegah infeksi.

Meningkatnya resistensi tidak lepas dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat, lemahnya regulasi distribusi dan peresepan obat, serta terbatasnya infrastruktur pelayanan kesehatan.

Para ahli dan organisasi kesehatan internasional menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk mengelola AMR, termasuk memperkuat pencegahan infeksi, meningkatkan pengawasan antibiotik, dan mendorong penelitian untuk mengembangkan antibiotik baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *