JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) saat ini sedang menyusun kurikulum tentang cinta. Hal itu disampaikannya saat peluncuran Tanvir I ‘Aisiiiah di Jakarta.
“Itulah sebabnya aku membuat program cinta sekarang.” Apa yang dimaksud dengan program cinta? Soalnya, ketika seorang guru Islam, misalnya, mengajarkan agama Islam yang benar, yang lain akan tersesat. Sehingga tercipta kesan bahwa kebencian terhadap orang yang berbeda keyakinan semakin tersulut. Jadi kalau ada khutbah matikan TV, matikan radio, kata Nasaruddin dalam keterangannya dikutip Jumat (17/1/2025).
“Dan Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha adalah hal yang sama.” “Oi, ada telepon, matikan.” Jadi ada teologi kebencian terhadap agama lain. Bayangkan semua anak kecil kita mempunyai pemahaman agama yang sama, menanamkan kebencian satu sama lain. “Bagaimana nasib Indonesia yang majemuk ini?”
Nasaruddin mengatakan, kurikulum ini bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan toleransi sejak dini. Ia menilai banyak potensi konflik yang muncul dari ajaran agama yang menanamkan kebencian terhadap kelompok lain.
“Itulah yang saya maksud dengan kurikulum cinta. Bagaimana mengajarkan keimanan, dan bukan kebencian terhadap orang yang berbeda keyakinan. Tapi jangan samakan semua agama, itu juga salah. “Bagaimanapun, agama mereka, agama mereka, agama kita, agama kita,” ujarnya.
Imam Besar Masjid Istiklal mengatakan, program kasih sayang ini mengajarkan sesama warga untuk saling mencintai meski berbeda agama.
“Tetapi jangan biarkan perbedaan dan kebencian ini ditanamkan sejak usia muda.” Terakhir, meskipun alam bawah sadar kita sudah ketinggalan jaman, terdapat juga potensi konflik yang intens. Kita boleh berbeda agama, namun kita tetap saling mencintai sebagai sesama warga negara. Jadi inilah yang akan kami perkenalkan dalam kurikulum istilah cinta. “Ini bukan kurikulum perbedaan atau konflik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nasaruddin menilai kurikulum ini akan melemahkan potensi relasi kekuasaan di masyarakat.
“Jadi sekarang kami secara bersamaan mengembangkan kurikulum yang berpihak pada perempuan dan laki-laki.” Kami berdua adalah khalifah. Oleh karena itu, perbedaan program pendidikan ini harus dihilangkan. Sebab hal tersebut akan menimbulkan relasi kekuasaan yang timpang. “Semakin berkuasa laki-laki dalam masyarakat, semakin mudah perempuan dilecehkan,” katanya.