TEMPO.CO, Jakarta – Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri (Propam) menyatakan pihaknya memberikan bantuan proses hukum kode etik yang melibatkan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Rudy Soik. Rudy diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH) karena diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam menangani kasus tersebut.
“Kami tidak hanya memberikan bantuan, tapi permasalahannya ditangani oleh Polda,” kata Kepala Divisi Propam Polri Irjen Abdul Karim dalam keterangannya, Selasa, 15 Oktober 2024.
Abdul Karim mengatakan, proses hukum terkait pelanggaran kode etik yang dituduhkan Ipda Rudi merupakan kewenangan Polda NTT. “Itu kewenangan Polda NTT,” ujarnya.
Ipda Rudy Soik sebelumnya mengaku dilarang mengungkap kasus BBM atau penyimpanan BBM ilegal di Kota Kupang, NTT.
Pada Juni lalu, Ipda Rudy Soik melaporkan kekurangan bahan bakar bagi nelayan di Kota Kupang, NTT. Berdasarkan laporannya, Kapolres Kupang Kota Kompol Aldinan RJH Manurung mengeluarkan surat perintah penyidikan. Di hari yang sama, Ipda Rudy mendatangi rumah Ahmed Ansar, warga Kota Kupang.
“Ahmed Ansar diketahui membeli minyak menggunakan barcode nelayan, namun Ahmed Ansar tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI),” mengutip keterangan resmi Persatuan Warga NKRI tentang Tuntutan Reformasi Kepolisian Senin 14 Oktober 2024.
Ipda Rudy kemudian memerintahkan anggotanya memasang garis polisi di gedung tersebut. Rudy melaporkan temuannya ke Kapolsek Aldinan. Berdasarkan laporan Rudy, Aldinan memerintahkan pemanggilan Ahmad Ansar.
Pada 28 Agustus 2024, Polda NTT mengeluarkan surat yang menyatakan Ipda Rudy Soik melanggar Kode Etik Polri Nomor. PUT/32/VIII/2024/KKEP dilanggar. Rudy diasingkan ke Papua oleh NTT selama tiga tahun. Rudy mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Sekitar dua bulan kemudian, Ipda Rudy Soik dipanggil untuk menghadiri sidang tentang Kode Etik Profesi Polisi (KPEC). Dalam sidang yang digelar pada 11 Oktober 2024, Ipda Rudy terbukti melanggar kode etik berupa pemasangan garis polisi yang tidak sesuai prosedur. Dalam sidang kali ini, Iptu Rudy Soik diberhentikan secara tidak hormat oleh Polda NTT.
Veronica Atta, Ketua Yayasan Bantuan dan Konsultasi Hukum (YKBH) Justitia NTT, mengatakan keputusan memecat Polda NTT Rudy Soik tidak adil. Secara hukum, jika Rudy menjalankan tugasnya atas perintah atasannya, maka ia tidak bisa dihukum.
Dia mempertanyakan penetapan garis polisi oleh Polda NTT. Padahal, pemasangannya sudah mendapat izin dari Kapolres Kota Kupang, Kombes Aldinan RJH Manurung. “Pembuatan garis polisi untuk mencegah perdagangan bahan bakar ilegal bukanlah pelanggaran berat,” kata Veronica kepada Tempo, Senin. Pilihan Editor: Insiden Speedboat Benny Laos, Shirley Tzowanda: Bau bahan bakar terlalu menyengat, tidak seperti biasanya
Propam Polri mengatakan, pemberhentian IPDA Rudy Soik merupakan kewenangan Polda NTT. Baca selengkapnya
Polda NTT mengirimkan tim propam untuk mengusut kasus Pemimpin Redaksi Floresa saat meliput protes proyek panas bumi. Baca selengkapnya
Kabid Humas Polda NTT Kompol Ariyasandi mengatakan, polisi menerima permintaan Ipda Rudy Soik. Baca selengkapnya
Ipda menentang pemecatan Rudy Soik sebagai polisi. Menurutnya, keputusan PTDH dalam sidang Tata Tertib merupakan keputusan yang keji. Baca selengkapnya
Ipda Rudy Soik bertugas berdasarkan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Kapolres Kupang. Baca selengkapnya
Ipda Rudy Soik resmi diberhentikan tidak hormat dari Kepolisian Daerah NTT (PTDH) karena dianggap melanggar kode etik profesi kepolisian. Baca selengkapnya
Pemecatan Ipda Rudy Soik menjadi titik panas terbaru yang menyoroti dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Polri. Baca selengkapnya
Ipda Rudy Soik dinilai melanggar kode etik karena tidak mengikuti prosedur pembuatan garis polisi saat mengungkap mafia BBM di NTT. Baca selengkapnya
Ipda Rudy Soik dipecat menyusul perintah Kapolri yang akan memberikan sanksi tegas kepada pihak mana pun yang menyalahgunakan BBM bersubsidi. Baca selengkapnya
Polda NTT menjelaskan alasan pemecatan Ipda Rudi Soik. Baca selengkapnya