TEMPO.CO, Jakarta – Media Barat mendapat kritik pedas selama kampanye militer Israel di Jalur Gaza selama setahun terakhir. Media Barat sering dikritik karena pemberitaannya yang bias dan menyesatkan masyarakat tentang konflik yang sedang berlangsung.

Sejarawan Assal Rad memperkirakan prasangka tersebut bukanlah fenomena baru. Sebaliknya, ia mengatakan bias tersebut adalah bagian dari pola lama dalam menggambarkan tindakan Israel, khususnya kampanye militernya, dengan cara yang meremehkan dampaknya terhadap warga Palestina dan memperkuat narasi mengenai keamanan dan korban Israel.

“Media adalah tempat masyarakat mendapatkan informasi,” kata Rad saat diwawancara Anadolu, dikutip Senin 7 Oktober 2024.

Rad menunjukkan bagaimana media Barat memainkan peran besar dalam memanipulasi jumlah orang yang melihat konflik tersebut, serta mencerminkan narasi yang dipromosikan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Israel. Direktur penelitian di Dewan Nasional Iran-Amerika mengatakan bias biasanya dilakukan melalui berita utama yang menyesatkan dan menutupi fakta, bukan melalui sensor langsung. Misalnya, berita utama tentang tindakan militer Tel Aviv sejak serangan 7 Oktober sering menyatakan tindakan tersebut sebagai fakta obyektif, seperti “Israel menargetkan Hizbullah,” tanpa mempertanyakan legitimasi atau konsekuensi dari tindakan tersebut.

Sebaliknya, Rad menjelaskan, ketika melaporkan korban sipil akibat serangan Israel, media sering mengaitkan informasi tersebut dengan sumber seperti Otoritas Palestina atau Kementerian Kesehatan Lebanon, yang secara halus menimbulkan keraguan terhadap kebenaran laporan tersebut. Standar ganda ini, kata Rad, bertujuan untuk melegitimasi tindakan Israel dengan merendahkan martabat korban Palestina.

Rad percaya bahwa bahasa yang digunakan di media Barat sering mengabaikan tanggung jawab Israel atas korban sipil. Misalnya, ketika serangan Israel menghantam sekolah atau kamp pengungsi, laporan dibuat sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa warga sipil adalah korban tambahan dalam upaya Israel untuk menargetkan Hamas atau Hizbullah.

“Hukum humaniter internasional tidak berlaku seperti itu,” katanya.

Wanita yang meraih gelar doktor bidang sejarah Timur Tengah dari University of California ini menambahkan, Israel sebagai negara yang melakukan penyerangan memiliki tanggung jawab untuk menghindari jatuhnya korban sipil. Kurangnya akuntabilitas dalam pelaporan mendistorsi realitas situasi di lapangan.

Rad mengatakan salah satu masalah yang paling nyata adalah keengganan media Barat untuk secara langsung menyebut Israel sebagai pelaku kekerasan terkait kematian warga sipil. Misalnya saja mengenai pemberitaan warga Palestina yang dilempar tentara Israel dari atap gedung di Tepi Barat dan menuliskannya sebagai “mayat yang tampak tak bernyawa”. Menurutnya, tindakan tersebut tidak terpikirkan jika korbannya adalah warga negara Israel.

Pilihan bahasa ini tidak hanya membersihkan kekerasan, namun juga menyiratkan bahwa orang-orang Palestina tidak pantas mendapat empati atau keadilan. Rad juga mengkritik normalisasi Israel dalam menyelidiki negaranya atas kemungkinan kejahatan perang. Praktik ini telah disesuaikan dengan wacana politik dan pemberitaan media.

“Ketika Anda melihat pola berulang dalam cara penyajian informasi, hal itu menjadi normal hingga masyarakat menerimanya tanpa ragu,” katanya.

Selain itu, Rad mencatat perbedaan mencolok dalam liputan media mengenai korban Israel dan Palestina. Dia mengutip kisah 40 bayi yang dipenggal oleh Hamas dalam serangan 7 Oktober 2023 yang kini terbantahkan sebagai contoh betapa cepatnya informasi yang salah dapat menyebar dan bagaimana media secara selektif melanggengkan kemarahan. Cerita-cerita seperti itu tetap ada bahkan setelah terbukti palsu. Sementara itu, laporan dan data terverifikasi mengenai anak-anak Palestina yang terbunuh di Gaza kurang mendapat perhatian.

Kemarahan selektif ini adalah akibat dari dehumanisasi rakyat Palestina. “Palestina tidak punya nama. Mereka tidak punya sejarah,” kata Rad.

Rad membandingkan kondisi tersebut dengan profil pribadi para korban Israel yang sering dipublikasikan. Perlakuan yang tidak setara dalam narasi media membuat sulit untuk memahami sejauh mana penderitaan yang dialami warga Palestina.

“Orang-orang Palestina bukan manusia karena mereka tidak punya nama. Mereka tidak punya sejarah. Namun, ketika ada korban dari pihak Israel, Anda melihat profil yang membicarakan orang-orang ini karena mereka adalah manusia,” ujarnya.

Peran media sosial dan jurnalis independen

Rad mencatat bahwa salah satu perbedaan utama antara konflik ini dan konflik masa lalu adalah peran media sosial dan jurnalisme independen. Rekaman dan laporan langsung dari jurnalis Palestina di lapangan memberikan pandangan tanpa sensor mengenai situasi sebenarnya, sehingga menantang narasi yang dipromosikan oleh media Barat.

“Apa yang kita miliki yang berbeda di dunia saat ini dibandingkan dengan apa yang kita miliki di masa lalu adalah catatan langsung dari apa yang terjadi di lapangan,” ujarnya.

Meskipun demikian, gambar-gambar dan cerita-cerita ini masih belum menjangkau masyarakat umum di Barat, terutama mereka yang bergantung pada media massa untuk mendapatkan informasi.

Rad percaya bahwa kegagalan ini bukan disebabkan oleh individu jurnalis, melainkan institusi media itu sendiri. Dia mengakui bahwa jurnalis sering kali bekerja di bawah batasan editorial dan mungkin tidak memiliki kendali atas berita utama atau suntingan akhir.

Kritik ditujukan kepada institusi, ujarnya.

Rad mencontohkan kebocoran pemberitahuan dari organisasi media seperti The New York Times yang menginstruksikan wartawan untuk tidak menggunakan kata-kata seperti “pendudukan” atau “genosida.” Dukungan pemerintah AS terhadap Israel adalah faktor yang memungkinkan terjadinya kekerasan yang sedang berlangsung, dan keterlibatan ini tercermin dalam pemberitaan media. Ia yakin kebijakan Amerika berkontribusi terhadap berlanjutnya konflik Israel-Palestina.

“Jika pemerintahan Biden memilih untuk mengambil jalan yang berbeda, hal ini dapat menghentikan semua yang terjadi,” katanya.

Jika media terus menyelaraskan narasinya dengan narasi Amerika Serikat dan pemerintah Israel, maka pemahaman publik terhadap konflik tersebut akan tetap berat sebelah. Kondisi ini, kata dia, menunda keadilan bagi Palestina.

Sumber: aa.com

Pilihan Editor: Serangan Israel hantam masjid dan sekolah, 26 warga Gaza tewas, 93 luka-luka

Ikuti berita terkini Tempo.co di Google News, klik di sini

Israel mengklaim warga negara Lebanon yang diculik adalah seorang komandan senior Hizbullah

UNIFIL membantah terlibat dalam penculikan seorang pria kapten laut Lebanon dalam operasi yang dilakukan Israel Baca selengkapnya

Sebuah laporan baru-baru ini memperkirakan bahwa subsidi senjata AS kepada Israel telah mencapai setidaknya $22,76 miliar sejak dimulainya perang Gaza. Baca selengkapnya

Persatuan Jurnalis Palestina mengatakan pasukan Israel telah membunuh 183 jurnalis di Gaza sejak Oktober 2023. Baca selengkapnya

Layanan darurat Israel melaporkan 11 orang terluka di Israel tengah pada Sabtu, 2 November 2024, akibat roket Hizbullah

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengancam Israel dan sekutunya jika mereka berani menyerang negara tersebut. Baca selengkapnya

Tiga besar di dunia adalah perusahaan Singapura yang terkena sanksi AS, Israel meningkatkan anggaran perangnya, dan Mossad terlibat skandal di Italia. Baca selengkapnya

Relawan MER-C Indonesia mengungkap penderitaan masyarakat Gaza akibat blokade pangan Israel. Baca selengkapnya

Sebanyak 19 warga Israel terluka akibat tembakan dari Lebanon. Sirene meraung. Baca selengkapnya

Amerika Serikat akan mengerahkan kapal perang baru ke kawasan Timur Tengah. Baca selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *