JAKARTA – Meskipun Apple Vision Pro menawarkan teknologi tampilan canggih dan komputasi spasial yang mendalam, harganya yang mahal, desainnya yang besar, dan masalah kesehatan seperti ketegangan mata dan kelelahan mental membatasi daya tariknya.
Revolusi Komputasi Spasial Dimulai Apple Vision Pro telah menjadi salah satu produk paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Didesain sebagai headset augmented reality (AR) yang menjanjikan penggabungan dunia digital dan dunia nyata, Vision Pro dirancang untuk mengubah cara kerja para profesional.
Sayangnya, Apple nampaknya meleset dari produknya ini. Terutama dalam menggaet pasar yang lebih luas.
Alat profesional, bukan gadget untuk konsumen umum
Pada dasarnya, Vision Pro dirancang untuk para profesional dan bukan untuk masyarakat umum. Akibatnya, produk ini tidak diterima dengan antusias di pasar mainstream.
Keputusan Apple untuk memposisikannya sebagai “komputer ruangan”—pengganti komputer dan tablet tradisional—tidak menarik khalayak yang lebih luas.
Dibanderol dengan harga US$3.499 (sekitar Rp 55 juta) atau lebih, ia berada di luar jangkauan sebagian besar pembeli.
Di sisi lain, banyak ahli yang mempertanyakan apakah Vision Pro sepadan dengan harganya.
Dalam artikel Apple Vision Pro Developer Insider, desain Vision Pro lebih ditujukan untuk para profesional yang sudah bekerja dengan peralatan canggih seperti kamera bioskop kelas atas dan perangkat lunak pascaproduksi.
Namun, bahkan bagi para ahli ini, produk tersebut tampak lebih seperti sebuah kemewahan daripada sebuah kebutuhan. Artinya, hal ini bukanlah solusi terhadap permasalahan yang ada.
Keunggulan Apple Vision Pro
Sebelum membahas kekurangan Vision Pro, penting untuk mengetahui beberapa kelebihannya. Ini termasuk:
– Teknologi layar inovatif: Vision Pro menawarkan layar mikro-OLED ganda 4K, menghasilkan pengalaman 8K yang imersif, cocok untuk pembuat film dan pembuat konten yang bekerja dengan gambar resolusi tinggi.
– Lingkungan yang mendalam bagi para profesional: Vision Pro menyediakan lingkungan yang mendalam bagi editor film, pemodel 3D, dan animator.
– Kemampuan Pengeditan Spasial: Kemampuan pengeditan spasial Vision Pro, terutama bila dikombinasikan dengan Final Cut Pro, merupakan keunggulan teknis.
– Kemungkinan Pembuatan Film Baru: Headset ini dapat mengubah cara pembuat film dan pembuat konten berinteraksi dengan materi mereka.
Hambatan yang meluas terhadap adopsi
Terlepas dari keunggulan teknologinya, Vision Pro menghadapi beberapa kendala yang menghalangi penggunaannya secara luas:
– Harga mahal: Dengan harga USD 3,499 (sekitar Rp 55 juta), Vision Pro lebih mahal dibandingkan kebanyakan headset AR generasi pertama lainnya.
– Desain Canggung: Desain Vision Pro yang sedikit kikuk membuatnya tidak nyaman digunakan dalam jangka waktu lama.
– Masalah kesehatan: Kekhawatiran mengenai dampak kesehatan seperti sakit mata, sakit kepala, dan masalah mental telah menimbulkan keraguan.
– Penggunaan terbatas: Vision Pro bukanlah pengganti perangkat lunak pengeditan tradisional seperti Final Cut Pro, yang masih disukai oleh para profesional.
Kesimpulan: Sebuah produk yang terlalu canggih pada masanya. Pencapaian teknologi sangat mengesankan, terutama dalam hal kualitas tampilan dan pengalaman mendalam.
Namun, berbagai kekurangan membuat adopsi menjadi sulit, terutama di kalangan profesional penyuntingan film dan video.