Pasukan Belanda menderita wabah mematikan selama perang Jawa melawan tentara Pangeran Diponegoro. Wabah mematikan ini konon menyebabkan banyak tentara Belanda tewas pada Perang Jawa.

Sejarah mencatat, setidaknya 6.000 prajurit infanteri Eropa yang bertugas di selatan Jawa Tengah pada Juli 1825 hingga April 1827 terjangkit penyakit tersebut. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.603 orang meninggal karena penyakit pada akhir tahun kedua perang Jawa.

Banyaknya kerugian yang dialami pasukan Belanda membuat Pangeran Diponego kesulitan menyerang. Apalagi banyak dari mereka yang tewas adalah tentara atau digunakan dalam penyerangan di medan perang.

Sementara itu, bantuan tentara lokal dari kerajaan-kerajaan pendukung Belanda tidak bisa diandalkan, seperti yang digambarkan dalam “Takdir: Sejarah Pangeran Diponegoro (1785 – 1855)” karya Peter Carey.

Sebagian besar pasukan bantuan berasal dari Madurai, Sumenep, Minahasa, Maluku dan Sulawesi, banyak di antaranya adalah pecandu opium. Tuntutan para prajurit lokal untuk membawa keluarganya ke medan perang membuat mobilisasi pasukan Belanda yang cepat menjadi sangat sulit.

Kebetulan pada musim hujan bulan November 1825 hingga April 1826, Belanda diserang oleh prajurit Pangeran Diponegoro. Belum lagi kemampuan perang gerilya yang dikembangkan orang Jawa melebihi ekspektasi Belanda.

Tampaknya pelatihan militer klasik pasukan Eropa tidak cocok untuk melakukan strategi yang lebih agresif melawan gerilyawan. Sebaliknya orang Jawa sendiri sangat baik dan sabar.

Gerilyawan Jawa, yang hanya dipersenjatai dengan sedikit peralatan, terus menyerang musuh-musuhnya. Bahkan para pejuang partisan ini tidak diperbolehkan berperang secara rutin.

Pasukan Pangeran Diponego memanfaatkannya untuk mengalahkan Belanda dan menguasai beberapa daerah. Bahkan, pasukan Pangeran Diponegoro mampu bergerak leluasa memanfaatkan keterbatasan pasukan Belanda.

Setelah berhasil menaklukkan desa-desa Mataram, pasukan Pangeran Diponego pun berhasil merebut titik-titik kuat yang penting. Bangunan-bangunan dikuasai, termasuk Istana Amangkurat I lama di Plered.

Oleh karena itu, ketika pasukan Belanda berusaha merebut kembali wilayah yang dikuasai Pangeran Diponego, membutuhkan waktu yang lama. Butuh waktu tiga bulan bagi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Frans David Kocius, seorang insinyur berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal De Kock, untuk merebutnya.

Para prajurit Belanda yang terkemuka ini sepertinya kesulitan mengalahkan 400 prajurit Pangeran Diponego yang dikalahkan dalam pertempuran paling berdarah.

Konon hampir seluruh prajurit Pangeran Diponegoro tewas saat tentara Belanda merebut kembali Istana Plered dan beberapa tempat di Mataram, kecuali 40 orang yang selamat, termasuk sang pangeran sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *