JAKARTA – Pakar hukum tata negara Refly Harun bereaksi terhadap penetapan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Menteri Perdagangan periode 2015-2016 ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi gula tahun 2016.

Menurut Refla, ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi agar seseorang bisa didakwa melakukan penipuan. Prinsip pertama mencakup penyalahgunaan kekuasaan, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan pemborosan dana publik. Kedua, melakukan hal-hal haram, memperkaya diri sendiri atau mendatangkan orang lain dan menyia-nyiakan sumber daya negara.

Nah, Tom dianggap melakukan dua hal, yaitu penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran hukum, kata Tom Lembong, Kamis (7/11/2024).

Namun, menurut Refla, permasalahan utama dalam perkara korupsi adalah adanya unsur mens rea, yaitu adanya niat jahat yang harus dibuktikan oleh penyidik. Penyidik ​​harus membuktikan bahwa kejadian ini dilakukan dengan niat jahat dari pihak Tom Lembong, kata Refly.

Refly menegaskan, pembuktian niat jahat tersebut sangat penting dan salah satu cara pembuktiannya adalah melalui uang yang diterima tersangka, baik langsung maupun tidak langsung.

“Jika uang mengalir kepadanya, secara langsung atau tidak langsung, itu adalah bukti adanya niat buruk,” katanya.

Soal kerugian yang ditanggung pemerintah, Refly menilai dalam kasus ini kerugian pemerintah yang bersangkutan tidak terlihat jelas. Ia menilai yang terjadi bukan kerugian pemerintah, melainkan negara tidak mendapat untung dari ekspor.

“Pemerintah tidak untung. Kalau swasta untung Rp 400 miliar, seharusnya keuntungan itu masuk ke BUMN karena yang impor bukan BUMN,” ujarnya.

Refly mengatakan dalam hal ini, apa yang dilakukan Tom Lembong merupakan kesalahan dalam rencana pelayanan. Ia menilai, jika benar perbuatan Tom Lembong merupakan kesalahan politik, maka hal tersebut tidak boleh diproses secara hukum pidana.

Misalnya, Pak Refly menyinggung beberapa kebijakan yang dianggap membuang-buang uang pemerintah, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), Bandara Kertajati, dan proyek kereta cepat. “Secara kebijakan, tidak boleh menjadi tindak pidana kecuali ada niat buruk,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *