Jakarta – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menjadi tuan rumah Conference on International Law and Governance in the Global Context (icLave) ke-6 tahun 2024. Konferensi ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting mengenai hukum internasional dan kebijakan publik. Tentang kendala yang dihadapi industri otomotif Indonesia.

Pada konferensi tersebut, Bapak Mone Stepanus, dosen Universitas Indonesia bulan Februari, memberikan ceramah. Bapak Dian Parluhtan, Dosen Hukum Persaingan Usaha, Universiti Perita Harapan (UPH); Veteran UPN Guntur Saragi, dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Jakarta, memaparkan penelitian ilmiah tentang penghambatan industri otomotif. Satu poin penting berkaitan dengan perjanjian eksklusivitas.

“Penting bagi kita untuk mengangkat perjanjian eksklusif ini di forum internasional untuk menunjukkan kondisi persaingan usaha di Indonesia, dan hal ini memerlukan perhatian lebih lanjut dari pemerintah dan Dewan Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” kata Stepanus, Jumat. 11 Agustus 2024).

Menurut Depdiknas, jika perjanjian tersebut diterapkan, maka lingkungan bisnis dapat menjadi tidak kondusif bagi persaingan usaha dan menghambat pemain baru untuk berinvestasi dan memasuki pasar otomotif Indonesia.

Industri otomotif Indonesia didominasi oleh lima pabrikan besar: Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi Motors. Mereka menguasai 82,3% dari total produksi negara. Pak Mone menjelaskan bahwa industri otomotif Indonesia sedang menghadapi tantangan.

Ia mengatakan: “Ada berbagai situasi yang memunculkan penerapan praktik monopoli atau oligopolistik melalui perjanjian vertikal dan horizontal antar produsen.”

Mone mengatakan tidak jarang produsen mobil mengadakan perjanjian horizontal dan vertikal dengan tujuan mengendalikan pasar.

“Pengaturan vertikal adalah perjanjian yang dilakukan oleh induk perusahaan asal seperti Toyota Jepang yang melakukan perjanjian dengan Badan Pemilik Merek Tunggal (ATPM) Indonesia yaitu PT Astra International,” ujarnya.

Selain itu, kita juga melihat fenomena Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) menandatangani kontrak eksklusif dengan agen penjualan terafiliasinya. Ia mengatakan ini salah satu trik untuk meningkatkan penjualan mobil tertentu. “Di sisi lain, kita harus berhati-hati karena perjanjian eksklusif ini membuat dealer kesulitan mengembangkan bisnisnya,” ujarnya.

Dian Parlehoutan menambahkan, meski industri otomotif dinilai sebagai sektor strategis, namun terdapat risiko yang timbul akibat praktik kontrak eksklusif yang tidak sehat. Ketika sebuah dealer mengadakan perjanjian eksklusif dengan dealer dan memulai bisnis baru dengan menjual produk mobil merek lain, tidak jarang harus meminta izin kepada dealer tersebut. Dengan kata lain, investor dilarang menjual merek lain, meskipun itu berarti mendirikan entitas baru yang tidak terkait dengan hak kekayaan intelektual pemilik atau penjual merek.

Perjanjian eksklusif ini berdampak negatif pada lingkungan persaingan di sektor otomotif. “Praktik seperti ini dapat menimbulkan hambatan bagi pendatang baru yang kesulitan bersaing dengan pabrikan besar yang sudah menguasai pasar,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat yang dilakukan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk memastikan persaingan yang sehat tetap terjaga. Pak Dian menambahkan, KPPU dan asosiasi industri otomotif perlu segera bertindak dan proaktif untuk mengembangkan peraturan khusus di bidang otomotif. Cara ini dapat menumbuhkan ekosistem persaingan usaha yang efisien dan sehat.

Relevansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Kegiatan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga patut mendapat perhatian. Menurut dia, penerapan kontrak hak eksklusif pada industri otomotif melanggar UU 5 Tahun 1999. Meski sudah diatur undang-undang, namun tak jarang ada oknum nakal. Hubungan kekuasaan antara ATPM dan pengecer dapat memberikan peluang untuk menghindari Undang-Undang Mei 1999.

Dian juga menegaskan, kontrak eksklusif ini dilarang di Indonesia. “Regulasi sudah ada, namun penegakannya seringkali kurang optimal. Industri memerlukan regulasi yang lebih komprehensif untuk mendukung lingkungan persaingan yang sehat,” kata Dian.

Sementara itu, Guntur menyarankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan KPPU untuk menumbuhkan inovasi dan investasi berkelanjutan di sektor otomotif. Selain itu, ekspor mobil diperkirakan meningkat sebesar 5,96% (YoY) pada tahun 2023.

“Industri otomotif tidak hanya memberikan kontribusi terhadap perekonomian, tetapi juga menyerap tenaga kerja lebih dari 1,5 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *