JAKARTA – Kebijakan pengelolaan lobster yang dituangkan dalam Keputusan Menteri KP Nomor 7 Tahun 2024 mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Hasil penelitian terbaru Universitas Padjadjaran (Unpad) bahkan menyebutkan persepsi nelayan terhadap kebijakan ini dapat meningkatkan dan menjaga kestabilan lobster.
Ketua Koperasi Putra Lautan Deni Triana Putra mengatakan, sebagai ketua koperasi perikanan yang anggotanya lebih dari 400 orang, ia mendukung penuh kebijakan pengelolaan lobster di Indonesia saat ini.
“Efeknya nelayan bisa menangkap BBL dengan rasa aman dan nyaman karena tidak melanggar aturan,” kata Deni, Rabu (27/11/2024).
Praktik pengangkutan BBL secara ilegal sangat merugikan nelayan karena mengancam kestabilan ekosistem lobster. Penangkapan yang tidak dilaporkan akan berdampak pada populasi alami, sehingga membuat deteksi BBL menjadi lebih sulit di masa depan.
Untuk mengatasi kerugian tersebut, para nelayan kini berstatus anggota koperasi. Nantinya, koperasi dilibatkan membantu nelayan untuk mengajukan izin penangkapan ikan dan kemudian menyerahkan keputusan alokasinya kepada dinas perikanan daerah melalui kantor kabupaten/kota.
Sistem menghasilkan data hasil tangkapan yang akurat dan jelas asal muasal pedagang BBL. Setelah hasil tangkapan dicatat oleh dinas penangkapan ikan, mereka kemudian menerima Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) sebagai syarat untuk menjual benur tersebut ke BLU.
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi Sri Padmoko mengatakan, kebijakan budidaya lobster yang mengatur kegiatan budidaya di dalam dan luar negeri sudah tepat. Pasalnya dengan legalisasi bibit gulma dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
Faktanya, menjaga kebersihan tanaman lobster memberikan manfaat bagi banyak kelompok. Tak hanya nelayan, pedagang alat tangkap, pengelola restoran, bahkan pemerintah juga ikut merasakan manfaatnya. Bagi pemerintah, merupakan sumber pendapatan utama daerah (PAD) dan pendapatan nasional bukan pajak (PNB).
Kami juga membantu peternak lobster lokal. Karena saat ini banyak nelayan yang menanam BBL yang mereka peroleh sekitar 30 gram dan kemudian dijual ke petani setempat.
Kekhawatiran penanganan BBL dapat merusak lingkungan dapat diantisipasi dengan pelepasan lobster budidaya, kata Padmoko.
Mengadopsi teknologi budidaya lobster modern sangatlah penting. Sebagian besar cara bertani yang dilakukan masyarakat setempat masih tradisional dengan angka kematian akibat BBL yang tinggi. Selain itu, modal usaha budidaya lobster juga besar.
Untuk itu, Padmoko mendukung pemberian insentif kepada petani. Selain itu, para petani harus melepaskan sebagian hasil panen mereka ke hutan, untuk mencegah penderita kusta.
“Upayanya agar para peternak lobster mempunyai peluang untuk menjual BBL hasil budidayanya ke luar negeri. Namun dari sekian banyak BBL yang diambil untuk diternakkan, 0,01% dikembalikan ke alam sesuai dengan persentase kelangsungan hidup BBL di alam. Jadi untuk setiap 10.000 ikan BBL yang ditangkap, harus dikeluarkan satu ekor lobster yang siap bertelur. “Pelepasan ini harus diawasi dan dikendalikan guna menjaga kelestarian sumber daya lobster,” ujarnya.
Sebagai informasi, tim peneliti Fikom Unpad Kunto Adi Wibowo melakukan penelitian di tiga perusahaan perangkap BBL yaitu Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung; Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan 400 respon.
Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka pada tanggal 8 hingga 19 Oktober 2024 dan tingkat kesalahan atau margin of error sebesar 4,9% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasilnya, 87,6% responden menunjukkan dukungan terhadap kebijakan pengelolaan BBL. Hasil survei menunjukkan ada tiga alasan utama nelayan lobster mendukung kebijakan tersebut, yakni kenaikan pajak, ketersediaan lobster di alam, dan kemudahan memperoleh benih.