JAKARTA – Badan Meteorologi, Iklim, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan suhu di Indonesia tahun depan akan menjadi terpanas pada tahun 2025, dengan anomali suhu diperkirakan antara +0,3 hingga +0,6°C sepanjang tahun 2025.
Kepala BMKG Twigorita Karnawati menjelaskan suhu rata-rata bulanan akan meningkat di seluruh Indonesia, dengan periode terpanas diperkirakan terjadi antara Mei hingga Juli 2025.
“Suhu udara permukaan rata-rata bulanan Indonesia pada Januari hingga Desember 2025 diperkirakan bervariasi +0,3 hingga +0,6 derajat Celcius,” kata Twigorita dalam konferensi pers bertajuk Climate Outlook 2025.
Duvigorita menambahkan, meskipun perbedaan suhu ini mungkin terlihat kecil, namun hal ini dapat berdampak signifikan pada banyak bidang kehidupan. “Suhu akan lebih hangat 0,3 hingga 0,6 derajat Celcius pada Mei hingga Juli 2025 dan rata-rata 0,4 derajat Celcius,” ujarnya.
Sebelumnya, tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas dengan suhu rata-rata di atas 1,5 derajat Celcius, kata badan meteorologi Uni Eropa (UE) Copernicus hari ini, menjelang konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
PBB akan diadakan di Azerbaijan minggu depan. Copernicus mengatakan dunia sedang membuka “halaman sejarah baru” dalam rekor suhu yang akan menjadi pengingat untuk mempercepat pengurangan emisi global pada perundingan tersebut.
Bulan lalu, yang ditandai dengan banjir dahsyat di Spanyol dan Badai Milton di AS, merupakan bulan Oktober terpanas kedua yang pernah tercatat dengan suhu rata-rata terpanas kedua di Bumi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023.
Menurut Copernicus, suhu rata-rata pada tahun 2024 akan menjadi 1,55 derajat lebih tinggi dibandingkan suhu antara tahun 1850 dan 1900, periode sebelum pembakaran bahan bakar fosil mencapai skala industri.
“Memang benar bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dan tahun pertama yang tercatat dengan suhu rata-rata 1,5°C di atas suhu pra-industri.
“Hal ini menandai babak baru dalam catatan pemanasan global dan harus menjadi katalis untuk memajukan tujuan Konferensi Perubahan Iklim (COP29),” kata Samantha Burgess, Wakil Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus.
Pemanasan global tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya suhu, namun juga oleh dampak negatif tambahan panas di atmosfer dan lautan.
Udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air, sedangkan suhu laut yang lebih hangat menyebabkan lebih banyak penguapan sehingga menyebabkan hujan lebat dan badai.