Tol Jakarta – Sipularang menjadi kendala bagi setiap pengemudi yang melewatinya. Karena mereka dalam bahaya akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan banyaknya kejadian di jalan tol ini yang seringkali memakan korban jiwa.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Sorjanto Tjajono mengatakan, pihaknya sudah meninjau langsung jalan tol di Sipularang. Alhasil, turunan yang sangat panjang di jalur menuju Jakarta, yakni 100 hingga 90 km.

“Ini hasil pemeriksaan detail jalan tol di beberapa tempat, ditemukan kemiringannya sekitar 5 sampai 8 persen. Dan sesuai aturan tahun 1997, diperbolehkan maksimal 8 persen dengan kecepatan 60. km per jam,” ungkapnya dalam rapat dengar pendapat dengan komisi V DPR RI baru-baru ini (Sorjanto mengatakan kepada RDP).

Sorjanto mengungkapkan, pemerintah mengubah aturan demi alasan keamanan. Jadi yang semula maksimal 8 persen diubah menjadi 5 persen agar tidak perlu khawatir rem blong.

“Tapi aturan barunya (kemiringan maksimal) 5 persen. Lalu soal berapa kecepatan minimal yang ada untuk kendaraan besar,” ujarnya.

Selain jalan bawah yang terjal, Sorjanto mengatakan pihaknya menemukan kendala pada sistem drainase di Tol Sipularang. Drainase yang tidak baik di beberapa titik menyebabkan air menumpuk sehingga berbahaya bagi pengemudi.

“Drainase ada di tengah jalan di KM 95, tapi hanya di beberapa tempat. (Kilometer) 94 s.d 94 +400 Tidak ada drainase di tengah jalan. Dimana jalan berbelok ke kanan, di sisi jalan. super kanan, elevasinya 8 persen, jadi “air hujan sampai separuh kanan”.

Sorzanto khawatir hal ini bisa memicu terjadinya aquaplaning atau hydroplaning. Padahal, sesuai aturan, drainase harus disiapkan di sisi kanan bahu jalan agar air tidak menumpuk.

Selain itu, tinggi lantai dan aspal kurang lebih 30-40 cm. Hal ini dapat menyebabkan mobil terguling jika tidak sengaja keluar dari jalan raya karena masalah pengemudi.

Permasalahan juga muncul pada jalur pemberhentian darurat KM 92+600 yang diduga tidak memenuhi syarat keselamatan. Karena jalur masuknya sangat tajam, kendaraan besar lebih rentan terguling jika ingin memasuki jalur tersebut dengan kecepatan tinggi.

“Kami usulkan sesuai SE Dirjen PUPR, sudut pendekatan maksimum adalah 5 derajat seperti warna kuning (pada gambar) sehingga pendekatannya mudah. ​​Dan jalur pemberhentian darurat itu isinya kerikil, bukan pasir atau lumpur,” Sorjanto dikatakan.

Perlengkapan jalan seperti rambu peringatan kecepatan juga dinilai kurang memadai. Sorzanto mengatakan kendaraan dengan ABS (anti-lock brake system) tidak efektif dan dapat menyebabkan kecelakaan fatal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *