JAKARTA – Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping usai dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2024 menandai awal dari hubungan yang jelas dan transparan.
Penandatanganan perjanjian tersebut mencakup pengembangan bersama di bidang perikanan, minyak dan gas di wilayah kelautan yang serupa dengan komitmen kedua negara.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai ketahanan air dan kesepakatan pendalaman mengenai ekonomi biru, air dan mineral, serta mineral hijau.
Merisa Dwi Juanita, Pendiri Bara Maritim dan Peneliti Bidang Hak Asasi Manusia dan Keamanan SETARA Institute
Langkah tersebut dinilai sebagai kebijakan yang salah dan menimbulkan risiko besar di Indonesia.
Ada beberapa alasan utama: 1. Bersama-sama Menolak Klaim Tiongkok
Indonesia belum mengakui klaim sepihak Tiongkok atas peta 10 garis putus-putus di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok.
Hal ini mencakup wilayah luas di Laut Cina Selatan, termasuk pulau-pulau, terumbu karang, dan wilayah perairan negara lain, serta menghubungkan wilayah hukum Indonesia di sekitar Pulau Natuna.
2. Ketaatan pada UNCLOS 1982 Indonesia dan Tiongkok merupakan negara yang telah menerima Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Klaim wilayah Indonesia didasarkan pada apa yang diatur dalam UNCLOS 1982.
Wilayah Tiongkok melampaui ZEE 200 mil laut dan landas internasional 350 mil laut sehingga tidak ada klaim teritorial yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, belum ada dasar yang kuat untuk menjalin kerja sama di bidang yang banyak klaimnya, apalagi mengingat protes terhadap klaim China yang sering terjadi sejak tahun 1995 oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada periode 2019-2024.
Oleh karena itu pernyataan bersama mengenai akumulasi sumber daya maritim kedua negara merupakan perselisihan yang besar.
3. Putusan Arbitrase Internasional Tahun 2016
Klaim Tiongkok melalui Jalur Sepuluh (sebelumnya Jalur Sembilan) ditolak oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016 sehingga tidak memiliki dasar hukum.
Penandatanganan nota kesepahaman oleh Presiden Prabowo dinilai sebagai penerimaan atas klaim Tiongkok, meski menurut hukum internasional klaim tersebut ilegal.
4. Pelanggaran Nelayan Tiongkok dan Penjaga Pantai bersama penjaga pantainya telah berulang kali melakukan penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) dan secara agresif melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara.
Hal ini menimbulkan krisis jangka panjang yang meluluhlantahkan Indonesia, baik secara ekonomi maupun keselamatan para nelayan yang terlibat langsung.
“Bara Maritim dan SETARA Institute mendesak Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atau Presiden Prabowo sendiri untuk segera mengeluarkan pernyataan yang menegaskan posisi Indonesia sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Penghargaan Arbitrase Internasional tahun 2016,” kata Merisa Dwi Juanita dalam sebuah pernyataan. penyataan. , Senin (11/11/2024).
Selain itu, perlu adanya penguatan kapasitas maritim di wilayah Indonesia dan peningkatan keselamatan masyarakat bagi nelayan dengan peraturan yang ketat di wilayah yang sulit.
Termasuk peningkatan peralatan modern pada kapal Bakamla untuk menciptakan keamanan maritim di perairan Indonesia, tegasnya.