NUSA DUA – Harga minyak sawit mentah (CPO) berpotensi naik pada tahun 2025 seiring meningkatnya permintaan berkat industri biofuel di tengah stagnannya produksi dalam negeri. Di balik prospek harga yang jelas, ada risiko CPO kehilangan reputasi sebagai minyak nabati terbaik dengan harga murah.
CEO ISTA Mielke Gmbh Thomas Mielke memperkirakan harga CPO akan terus naik pada tahun 2025. Namun, mereka khawatir opsi ini akan mendapat respon yang sangat negatif dari konsumen. Sebab, kenaikan harga akan membuat produsen biofuel enggan menggunakan CPO sebagai bahan baku utama.
Mielke melihat beberapa industri biofuel di Amerika dan Eropa mengalami tekanan dalam hal kinerja keuangan. Brazil bahkan berencana menunda program wajib biodiesel jika harga terus meningkat.
“Jika pemerintah Indonesia mendorong program B40, maka harga minyak nabati seperti CPO dan kedelai akan naik setidaknya 10% hingga 15% untuk memenuhi permintaan sektor pangan dan lainnya,” kata Mielke dalam rangkaian acara IPOC 2024. di Nusa Dua, Bali, dilansir Sabtu (9 November 2024).
Yang mengkhawatirkan, produktivitas CPO Indonesia kemungkinan akan mengalami stagnasi pada tahun 2026. Mielke memperkirakan kenaikan harga minyak nabati akan dimanfaatkan produsen kanola, kanola, dan bunga matahari untuk memperluas wilayahnya.
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sedang menghadapi moratorium, meski ada juga yang sudah memasuki masa peremajaan sehingga berdampak pada penurunan hasil.
Direktur Godrej International Ltd Dorab Mistry memperkirakan harga minyak sawit mentah bisa mencapai MYR5.000 per ton pada paruh pertama tahun 2025. Kenaikan harga terjadi karena penurunan produksi di Indonesia dan Thailand. Ia meyakini jika tren kenaikan harga minyak sawit mentah terus berlanjut maka akan berdampak pada tingkat daya saing dengan minyak nabati lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, CEO Glenauk Economics Julian Mc Gill menambahkan, CPO kini menjadi komponen minyak nabati berkualitas tinggi seperti minyak lobak. Menurut dia, kenaikan harga CPO merupakan cerminan kurangnya ketersediaan di pasar.
“Melambatnya pengembangan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit stagnan. Lihat saja, ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada tahun 2019 dan tidak pernah kembali ke level itu,” jelasnya.
Sebagai informasi, ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia mencapai 36,17 juta ton pada tahun 2019, meningkat year-on-year sebesar 4,2%. Jika tren kenaikan harga minyak sawit mentah terus berlanjut, hal ini dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap permintaan minyak sawit. Dalam sambutannya, ekspor kedelai berhasil melampaui rendemen minyak sawit mentah hingga 40 juta ton pada tahun 2023.
Sementara itu, CEO Transgraph Nagaraj Meda mulai melihat tanda-tanda penurunan permintaan CPO selama dekade terakhir. Pada tahun 2014, minyak sawit menguasai pangsa pasar sebesar 45% dari pasokan minyak nabati global, dan angka ini akan turun menjadi 37% pada tahun 2024.
Misalnya, pasar India, yang merupakan tujuan ekspor utama minyak sawit mentah, mengalami penyerapan sebesar 8,24 juta ton pada tahun 2012-2013, dan sedikit meningkat menjadi 9 juta ton pada tahun 2023-2024. Sebaliknya, pada tahun 2012-2013, total ekspor kedelai ke India sebesar 1,09 juta ton, meningkat tiga kali lipat menjadi 3,5 juta ton.