Ridwan

Dosen mata kuliah Agama, Demokrasi, dan Pembangunan Departemen Ilmu Politik UIII

Direktur Pusat Politik Islam dan Masyarakat Dunia (COMPOSE) UIII

Apa yang dimaksud dengan Islam kemanusiaan? Bagaimana kita memahami konsep dan kerangka Islam kemanusiaan? Apa praktik dan tantangan Islam kemanusiaan di Indonesia?

Perlukah Indonesia Islam Kemanusiaan? Beberapa pertanyaan tersebut mungkin muncul di benak kita sehubungan dengan pelaksanaan Konferensi Kemanusiaan Islam yang akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 4-7 November 2024 No.

Berdasarkan pemberitaan media, acara tersebut dibuka oleh Presiden Prabowo Subianto dengan menyoroti upaya Indonesia sebagai jembatan perdamaian dunia dan dibacakan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa ulama yang terlibat dalam studi Islam di Indonesia, antara lain Greg Burton, Robert Hefner, dan James B. Horstery.

Turut hadir pula para cendekiawan luar dan dalam negeri, pemerhati kajian Islam, dan kajian politik. Acara konferensi juga dilanjutkan dengan kunjungan lapangan ke beberapa tempat bersejarah di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada tanggal 7 hingga 10 November 2024.

Artikel ini diharapkan dapat memberikan catatan penting pasca konferensi dengan memperkenalkan secara singkat wacana humanisme Islam dalam literatur. Mengkaji konsep dan kerangka Islam Humanitarian, serta implementasinya, dan apakah konsep Islam Humanitarian benar-benar dibutuhkan di negeri ini.

Penulis berpendapat bahwa konsep humanisme Islam tampaknya belum memiliki kerangka konseptual yang kokoh dan masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Selain itu, konsep Islam humanistik yang meliputi Islam Moderat, Islam Nusantara, Islam Inklusif, dan Islam Progresif bertujuan untuk menjelaskan bahwa Islam sejalan dengan modernitas, sekularisme, dan demokrasi.

Islam menganut pluralisme dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Selain itu, menurut pendapat saya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penggerak utama Islam humanistik nampaknya terjebak pada ide-ide besar, sementara banyak intelektual seperti Ulil Abushar Abdallah dan Ahmad Suadi telah mencoba melakukan hal tersebut, namun belum ada kerangka konseptual yang kuat. telah diusulkan. Untuk mengisi kekosongan ilmiah.

Dari perspektif wacana keilmuan, kajian humanisme Islam masih belum mendapat tempat yang cukup dalam literatur. Ivanyi dan Lohlker (2023) misalnya menyatakan bahwa pemikiran Islam humanis tidak menyebar ke luar Asia Tenggara. Oleh karena itu mereka berinisiatif menulis kumpulan karya spekulatif para cendekiawan Muslim dan non-Muslim Eropa dan non-Eropa tentang gagasan humanisme Islam.

Artikel terbaru Loo dan Suryana (2024) juga tidak memuat tinjauan literatur tentang Islam humanis. Namun karya-karya tersebut berhasil menjelaskan konsep Islam kemanusiaan, praktiknya, dan tantangan pengembangan Islam kemanusiaan di Indonesia.

Di sisi lain, Kacer (2023) hanya menyelidiki kerangka Islam kemanusiaan tanpa berupaya mengeksplorasi dinamika dan konteks sosiokultural di mana kerangka tersebut muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan penelitian lebih lanjut, termasuk mengadakan konferensi baru-baru ini sebagai bagian dari upaya mengembangkan kerangka konseptual yang kuat.

Artikel Loo dan Suryana (2024) mengupas secara genealogis perkembangan dan dinamika NU dalam mempertimbangkan persoalan Islam dan kebangsaan. Ini dimulai pada tahun 1965 dengan gerakan internasional yang dikenal sebagai Liga Islam Asia-Afrika.

NU bekerja sama dengan pemerintah untuk menyatukan umat Islam di Asia dan Afrika dan mendorong kebangkitan Islam melawan neo-kolonialisme Barat. Apalagi gagasan Islam moderat, gagasan Islam Nusantara, dan upaya pelibatan NU dalam perdamaian dunia terkristalisasi menjadi gagasan Islam humanistik.

Upaya memperkenalkan Islam versi humanistik antara lain melalui kolaborasi antara NU yang dimulai oleh Abdulrahman Wahid (Gus Dur), dan LSM berbasis di North Carolina yang dipimpin oleh Holland Taylor pada tahun 2003. Pada tahun 2014, Center for Shared Civilization Values ​​(CSCV) didirikan oleh Punggawa NU dan Holland Taylor.

Salah satu inisiatif utama mereka adalah dengan mengadakan Agama 20 (R20) pada akhir November 2022. Sayangnya, R20 tidak pernah diadakan di India dan kemungkinan di negara tuan rumah berikutnya.

Secara konseptual, gagasan humanisme Islam berpusat pada manusia. Konsep ini menekankan upaya untuk mendamaikan hukum Islam dan ruh Tuhan, menekankan kebajikan, kebajikan, dan memajukan perdamaian, keadilan, dan toleransi di dunia Islam modern.

Selain itu, Islam humanis berfokus pada pemberantasan manipulasi agama untuk tujuan yang merugikan. Ketika keyakinan dipolitisasi demi keuntungan politik, sosial, atau pribadi, sering kali hal ini berujung pada munculnya gerakan ekstremis dan terorisme.

Oleh karena itu, kami bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari eksploitasi ini. Hal ini dapat berdampak besar terhadap hubungan dan kebijakan internasional, termasuk konflik, ketidakstabilan sosial, ekstremisme agama, dan penyebaran Islamofobia di komunitas non-Muslim.

Islam Humanistik juga menyoroti permasalahan Ortodoksi Islam tradisional, yang sering disalahpahami. Hal ini termasuk mendorong kebencian terhadap non-Muslim, menganjurkan negara Islam bersatu yang dipimpin oleh kekhalifahan, dan menolak sistem hukum yang tidak berdasarkan yurisprudensi Islam.

Praktik Islam kemanusiaan saat ini berpusat pada upaya pelibatan NU dalam operasi perdamaian internasional, seperti Inisiatif Perdamaian di Afghanistan, R20, dan partisipasi NU dalam aksi internasional lainnya. Namun keberlanjutan dan efektivitas program ini masih dipertanyakan karena program ini tidak berkelanjutan.

Menurut penulis, kegiatan tersebut hanya bersifat insidental dan belum ada grand design yang merumuskan keberlanjutan program yang dilaksanakan. Hal ini juga tidak menjadi masalah, namun meskipun efektivitas upaya skala besar tersebut sangat mengesankan, hal ini tidak memberikan konsep yang kuat untuk implementasi di tingkat akar rumput.

Jika kita melihat gagasan Islam humanistik yang mengedepankan kemanusiaan, gagasan ini terbagi menjadi Islam moderat, Islam inklusif, yang juga mengedepankan kemanusiaan dan kesesuaian Islam dengan modernitas, sekularisme, dan demokrasi. Penekanan terhadap anti-Islamisme dan politisasi Islam juga tidak menawarkan gagasan baru, karena hanya mengulangi gagasan pasca-Islamisme dan kegagalan Islam politik yang disebarkan sebelumnya, misalnya Olivier Roy dan Asep Bayat memiliki.

Jika tidak, pengulangan hanyalah sebuah latihan intelektual. Kami berharap konferensi baru ini dapat memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk membangun konsep ide-ide ilmiah, segar, dan membumi bagi Indonesia dan dunia. Ini bukan hanya kata kunci dan pesan kosong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *