TEMPO.CO, Jakarta – Selama lebih dari dua puluh tahun, wilayah Papua diberikan kewenangan dan keistimewaan khusus untuk menerima dana negara melalui otonomi khusus atau otonomi khusus. Dana yang dikucurkan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, pembangunan, dan pembangunan sosial ekonomi di daerah sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua berjumlah kurang lebih Rp100 triliun.
Komite Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi (KPPOD), sebuah badan yang fokus mengkaji kebijakan pelayanan publik di bidang ekonomi, keuangan dan desentralisasi, menyoroti beberapa permasalahan. KPPOD telah mengamati banyak permasalahan dalam penyaluran dana swasta mandiri, seperti kurangnya akuntabilitas dalam hal pengawasan dan pengelolaan keuangan, selama dua dekade. “Otonomi khusus ini mempercepat pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup,” kata Armand Suberman, Direktur Eksekutif KPPOD, saat ditemui di kantor pusatnya. “Namun, seluruh evaluasi terkait pelaksanaan otonomi khusus menunjukkan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan selesai.” kantor. Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin 14 Oktober 2024.
Armand menilai dana otsus Papua belum berjalan sesuai harapan. Selama periode 2002-2021, jumlah yang disalurkan dari Dana Otonomi Khusus Papua dan Dana Tambahan Infrastruktur sebesar Rp138,65 triliun. Sedangkan untuk daerah lain, penelusuran Kementerian Keuangan melalui Buku Alokasi Tempo dan Ringkasan Kebijakan Transfer ke Daerah pada APBN 2024 menunjukkan provinsi-provinsi baru di Pulau Papua punya hak serupa atas otonomi khusus ini. . Dana, meski jumlahnya berbeda-beda.
Seperti Dataran Tinggi Papua yang mekar menjadi provinsi baru pada tahun 2022. Alokasi dana khusus mandiri ke provinsi tersebut pada tahun ini tercatat sebesar Rp3,3 triliun. Belum lagi bagi hasil umum daerah, dana desa, dan dana bagi hasil. Jika ditotal, bisa mencapai Rp 11 triliun pada tahun 2024. Armand meyakini besarnya uang yang disalurkan negara ke wilayah Papua bisa membawa kemajuan di wilayah tersebut. Terutama yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di banyak daerah di Papua dinilai masih rendah jika dibandingkan secara nasional. Hal itu dinilai sebagai salah satu kegagalan merealisasikan dana triliunan rupiah yang dialokasikan pada otonomi khusus Papua. Karena target yang diharapkan belum tepat. Indeks Pembangunan Manusia bisa dijadikan pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan karena juga berbicara tentang angka harapan hidup, pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, kata Arman. “Kalau kita lihat Indeks Pembangunan Manusia Papua masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan selalu berada di peringkat terakhir. Papua Barat dan Papua.”
Armand menilai UU Otsus Papua Baru belum membawa perubahan mendasar bagi masyarakat asli Papua. Ia menilai kebijakan tersebut belum efektif sesuai tujuan yang diharapkan. Armand mencontohkan permasalahan tingkat pengangguran, kesehatan, dan pendidikan yang terus dialami pemerintah di wilayah Papua. Armand membuat semacam grand design untuk melihat dampak dan manfaat otonomi tersendiri di Papua. Dengan begitu, kita bisa melihat apakah Papua benar-benar berkembang karena adanya kebijakan tersebut, atau justru tidak berpengaruh.
Armand juga ingin pemerintah pusat memprioritaskan kebutuhan umat kepausan dibandingkan proyek nasional yang tidak dibutuhkan masyarakat setempat. “Apa yang diinginkan masyarakat Papua mungkin tidak ada. Menurut saya, yang penting adalah menerjemahkan apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat Papua, dan bukan melihatnya dari kacamata Jakarta,” kata Arman. “Misalnya membuka jalan, siapa yang menikmati, masyarakat asli Papua atau bahkan perusahaan sawit dan tambang.”
Kahiu Pamongas, dosen peneliti Pusat Penelitian Daerah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berpendapat dana otsus Papua memberi kesan seperti hadiah negara kepada elite daerah. Menurutnya, masyarakat asli Papua tidak merasakan dampak dari uang tersebut, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil atau pegunungan. “Suap dari elite. Itu saja. Jadi sepertinya dana swasta yang mandiri hanya memberikan keuntungan kepada elite saja,” kata Kahiu saat dihubungi Tembo, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Berfokus pada kajian Papua, peneliti ini mengungkapkan bahwa daerah tersebut menerima tidak hanya dari otonomi swasta, namun juga dari sumber lain yang berasal dari dana tambahan infrastruktur, dana bagi hasil sumber daya alam, dan dana desa. Kahiu mengatakan, dalam UU Otsus Papua yang lama, dana otsus lebih banyak dialokasikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. “Jika kita hitung periode 2002 hingga 2023, semua dana tersebut tidak akan terlalu berdampak karena rata-rata indeks pembangunan manusia masih rendah di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat asli Papua,” kata Kahiu.
Kahiu menemukan rendahnya IPM ini terutama di daerah pedalaman seperti dataran tinggi Papua. Namun, dia mengatakan daerah seperti Sorong, Jayapura, dan Merauk yang sudah menjadi pusat perkotaan sudah pasti mengalami kemajuan. Artinya, berbagai skema transfer uang tidak meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat adat. Karena masyarakat adat Papua terkonsentrasi di dataran tinggi, kehidupan mereka tidak banyak berubah, kata Kahiu.
Pada tahun 2019, Kahiu melakukan observasi di dataran tinggi Papua. Menurutnya, masyarakat asli Papua tidak merasakan dampak apapun dari dana khusus pemerintahan mandiri tersebut, hal ini bertolak belakang dengan keinginan pemerintahan Joko Widodo untuk lebih mengembangkan infrastruktur di Papua. Menurut Kahiu, pemerintah kerap berupaya meningkatkan aksesibilitas berupa pembangunan jalan dan bangunan fisik. Sementara itu, perubahan di bidang pendidikan dan kesehatan kurang jelas.
Jadi dari pantauan saya, berapapun dana khusus swadaya yang ada, tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Mungkin ini harus dievaluasi kembali. Bagaimana strategi yang tepat untuk mentransfer dana untuk memperbaiki sumur? -menjadi orang asli Papua,” kata Kahiu.
Otonomi swasta menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Tempo mengirimkan surat menanyakan Dana Khusus Pemerintahan Sendiri per Selasa, 15 Oktober 2024. Surat permintaan wawancara dikirimkan ke Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri, Administrasi Umum, dan Departemen Pemerintahan Daerah. . Namun pertanyaan yang dilontarkan Tembo belum terjawab hingga berita ini ditulis.
Mengutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Retno Wolandari, Wakil Kepala Bagian Umum dan Pemerintahan Desa Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet memaparkan pandangannya terhadap otonomi khusus Papua. Ia menilai pemberian otonomi khusus kepada Papua dilakukan dengan langkah yang tepat, yakni pada saat adanya tatanan reformasi dan ketika ada tuntutan masyarakat Papua untuk mengembalikan nama provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Ia mengatakan, UU Nomor 21 Tahun 2001 telah mengalami dua kali perubahan, pertama UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2021.
Amandemen Pertama Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2008 memfasilitasi pembentukan Provinsi Papua Barat dan menghapus ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Sementara itu, Perubahan Kedua UU Otsus Papua Tahun 2021 diberlakukan dalam rangka penyempurnaan kebijakan otsus Papua, khususnya terkait kewenangan khusus, penyelenggaraan Pemerintahan Papua, dan kebijakan pencairan dana otsus. Memperbaiki pengelolaan dana mandiri swasta.
Retno melihat ada empat tantangan dalam penerapan kebijakan otonomi daerah Papua yang terpisah. Tantangan pertama adalah belum adanya kesepakatan mengenai penerapan definisi penduduk asli Papua, sehingga data resmi mengenai jumlah mereka belum tersedia. Kedua, komitmen Pemerintah dalam memajukan, mendukung dan melindungi hak asasi manusia masyarakat Papua. Tantangan ketiga terkait dengan proses penyusunan dan penetapan peraturan daerah dan daerah sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus dan Piagam Otorita Papua. Persoalan keempat kemudian berkaitan dengan belum adanya pemahaman komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan amanah khusus yang diberikan kepada Papua, khususnya amanah kekinian yang tercantum dalam lampiran PP Otorita Papua Pilihan Redaksi: Wakil Presiden Ma’ruf Amin Papua, Tinjauan Kemajuan Percepatan Pembangunan
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meyakinkan pemerintah akan segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex). Baca selengkapnya
Ekonom UPN mengkritik rencana proyek penanaman pangan di sawah seluas 2 juta hektar di Papua dan khawatir akan terulangnya dampak ekstraktivisme kolonial. Baca selengkapnya
Seorang purnawirawan Polri menitipkan uang Rp250 juta kepada warga Sibutat yang bekerja di Kementerian Dalam Negeri dan berjanji akan mendaftarkan anaknya di jaringan IPDN. Baca selengkapnya
Menteri Imigrasi Efthita Soliman berkomitmen menyelesaikan berbagai permasalahan terkait keimigrasian. Ia menjawab agenda Prabowo yaitu imigrasi ke Papua. Baca selengkapnya
Menurut Komnas HAM, ada tiga agenda prioritas yang harus diselesaikan pemerintahan Prabowo-Gibran. Baca selengkapnya
Zulkifli Hassan, sapaan akrab Zulhas, membeberkan alasan penunjukan Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Koordinator Pangan. Baca selengkapnya
Saat menangkap 3 anggota TPNPB-OPM, polisi menyita uang rampasan kepala desa setempat. Baca selengkapnya
PBHI menilai Natalius Pgai tidak mendapat keuntungan apa pun selama Comnas menjabat Komisioner HAM.
Integrasi elemen merupakan pilar utama dalam percepatan pembangunan pedesaan di Indonesia. Baca selengkapnya
P3PD berhasil membangun kapasitas perangkat desa sehingga mampu menciptakan inovasi pembangunan berkelanjutan. Baca selengkapnya